WISATA BADUY

Anda ingin membeli atau memesan khas Baduy seperti Ikat kepala(lomar), pernak-pernik, dll
hubungi saya lewat
Emile: elfaredl@yahoo.com

Kamis, 22 Maret 2012

BIOGRAFI DAN SAJAK-SAJAK WS. RENDRA



Nama:
WS Rendra

Nama Lengkap:
Willibrordus Surendra Broto Rendra

Lahir:
Solo, 7 Nopember 1935

Agama:
Islam

Istri:
Ken Zuraida

Pendidikan:
- SMA St. Josef, Solo
- Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gajah Mada, Yogyakarta
- American Academy of Dramatical Art, New York, USA (1967)

Karya-Karya
Drama:
- Orang-orang di Tikungan Jalan
- SEKDA dan Mastodon dan Burung Kondor
- Oedipus Rex
- Kasidah Barzanji
- Perang Troya tidak Akan Meletus
- dll

Sajak/Puisi:
- Jangan Takut Ibu
- Balada Orang-Orang Tercinta (Kumpulan sajak)
- Empat Kumpulan Sajak
- Rick dari Corona
- Potret Pembangunan Dalam Puisi
- Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta
- Pesan Pencopet kepada Pacarnya
- Rendra: Ballads and Blues Poem (terjemahan)
- Perjuangan Suku Naga
- Blues untuk Bonnie
- Pamphleten van een Dichter
- State of Emergency
- Sajak Seorang Tua tentang Bandung Lautan Api
- Mencari Bapak
- Rumpun Alang-alang
- Surat Cinta
- dll

Kegiatan lain:
Anggota Persilatan PGB Bangau Putih

Penghargaan:
- Hadiah Puisi dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (1957)
- Anugerah Seni dari Departemen P & K (1969)
- Hadiah Seni dari Akademi Jakarta (1975)
SAJAK SEBATANG LISONG

menghisap sebatang lisong
melihat Indonesia Raya
mendengar 130 juta rakyat
dan di langit
dua tiga cukung mengangkang
berak di atas kepala mereka

matahari terbit
fajar tiba
dan aku melihat delapan juta kanak - kanak
tanpa pendidikan

aku bertanya
tetapi pertanyaan - pertanyaanku
membentur meja kekuasaan yang macet
dan papantulis - papantulis para pendidik
yang terlepas dari persoalan kehidupan

delapan juta kanak - kanak
menghadapi satu jalan panjang
tanpa pilihan
tanpa pepohonan
tanpa dangau persinggahan
tanpa ada bayangan ujungnya
..........................

menghisap udara
yang disemprot deodorant
aku melihat sarjana - sarjana menganggur
berpeluh di jalan raya
aku melihat wanita bunting
antri uang pensiunan

dan di langit
para teknokrat berkata :

bahwa bangsa kita adalah malas
bahwa bangsa mesti dibangun
mesti di up-grade
disesuaikan dengan teknologi yang diimpor

gunung - gunung menjulang
langit pesta warna di dalam senjakala
dan aku melihat
protes - protes yang terpendam
terhimpit di bawah tilam

aku bertanya
tetapi pertanyaanku
membentur jidat penyair - penyair salon
yang bersajak tentang anggur dan rembulan
sementara ketidak adilan terjadi disampingnya
dan delapan juta kanak - kanak tanpa pendidikan
termangu - mangu di kaki dewi kesenian

bunga - bunga bangsa tahun depan
berkunang - kunang pandang matanya
di bawah iklan berlampu neon
berjuta - juta harapan ibu dan bapak
menjadi gemalau suara yang kacau
menjadi karang di bawah muka samodra
.................................

kita mesti berhenti membeli rumus - rumus asing
diktat - diktat hanya boleh memberi metode
tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan
kita mesti keluar ke jalan raya
keluar ke desa - desa
mencatat sendiri semua gejala
dan menghayati persoalan yang nyata

inilah sajakku
pamplet masa darurat
apakah artinya kesenian
bila terpisah dari derita lingkungan
apakah artinya berpikir
bila terpisah dari masalah kehidupan

RENDRA
( ITB BANDUNG - 19 AGUSTUS 1978 )






























   

SAJAK ORANG LAPAR
Oleh: WS. Rendra

kelaparan adalah burung gagak
yang licik dan hitam
jutaan burung-burung gagak
bagai awan yang hitam


o Allah !
burung gagak menakutkan
dan kelaparan adalah burung gagak
selalu menakutkan
kelaparan adalah pemberontakan
adalah penggerak gaib
dari pisau-pisau pembunuhan
yang diayunkan oleh tangan-tangan orang miskin


kelaparan adalah batu-batu karang
di bawah wajah laut yang tidur
adalah mata air penipuan
adalah pengkhianatan kehormatan


seorang pemuda yang gagah akan menangis tersedu
melihat bagaimana tangannya sendiri
meletakkan kehormatannya di tanah
karena kelaparan
kelaparan adalah iblis
kelaparan adalah iblis yang menawarkan kediktatoran


o Allah !
kelaparan adalah tangan-tangan hitam
yang memasukkan segenggam tawas
ke dalam perut para miskin


o Allah !
kami berlutut
mata kami adalah mata Mu
ini juga mulut Mu
ini juga hati Mu
dan ini juga perut Mu
perut Mu lapar, ya Allah
perut Mu menggenggam tawas
dan pecahan-pecahan gelas kaca


o Allah !
betapa indahnya sepiring nasi panas
semangkuk sop dan segelas kopi hitam


o Allah !
kelaparan adalah burung gagak
jutaan burung gagak
bagai awan yang hitam
menghalang pandangku
ke sorga Mu




















































   
SAJAK RAJAWALI

sebuah sangkar besi
tidak bisa mengubah rajawali
menjadi seekor burung nuri

rajawali adalah pacar langit
dan di dalam sangkar besi
rajawali merasa pasti
bahwa langit akan selalu menanti

langit tanpa rajawali
adalah keluasan dan kebebasan tanpa sukma
tujuh langit, tujuh rajawali
tujuh cakrawala, tujuh pengembara

rajawali terbang tinggi memasuki sepi
memandang dunia
rajawali di sangkar besi
duduk bertapa
mengolah hidupnya

hidup adalah merjan-merjan kemungkinan
yang terjadi dari keringat matahari
tanpa kemantapan hati rajawali
mata kita hanya melihat matamorgana

rajawali terbang tinggi
membela langit dengan setia
dan ia akan mematuk kedua matamu
wahai, kamu, pencemar langit yang durhaka


























SAJAK PERTEMUAN MAHASISWA

matahari terbit pagi ini
mencium bau kencing orok di kaki langit
melihat kali coklat menjalar ke lautan
dan mendengar dengung di dalam hutan

lalu kini ia dua penggalah tingginya
dan ia menjadi saksi kita berkumpul disini
memeriksa keadaan

kita bertanya :
kenapa maksud baik tidak selalu berguna
kenapa maksud baik dan maksud baik bisa berlaga
orang berkata : "kami ada maksud baik"
dan kita bertanya : "maksud baik untuk siapa ?"

ya !
ada yang jaya, ada yang terhina
ada yang bersenjata, ada yang terluka
ada yang duduk, ada yang diduduki
ada yang berlimpah, ada yang terkuras
dan kita disini bertanya :
"maksud baik saudara untuk siapa ?
saudara berdiri di pihak yang mana ?"

kenapa maksud baik dilakukan
tetapi makin banyak petani kehilangan tanahnya
tanah - tanah di gunung telah dimiliki orang - orang kota
perkebunan yang luas
hanya menguntungkan segolongan kecil saja
alat - alat kemajuan yang diimpor
tidak cocok untuk petani yang sempit tanahnya

tentu, kita bertanya :
"lantas maksud baik saudara untuk siapa ?"
sekarang matahari semakin tinggi
lalu akan bertahta juga di atas puncak kepala
dan di dalam udara yang panas kita juga bertanya :
kita ini dididik untuk memihak yang mana ?
ilmu - ilmu diajarkan disini
akan menjadi alat pembebasan
ataukah alat penindasan ?

sebentar lagi matahari akan tenggelam
malam akan tiba
cicak - cicak berbunyi di tembok
dan rembulan berlayar
tetapi pertanyaan kita tidak akan mereda
akan hidup di dalam mimpi
akan tumbuh di kebon belakang

dan esok hari
matahari akan terbit kembali
sementara hari baru menjelma
pertanyaan - pertanyaan kita menjadi hutan
atau masuk ke sungai
menjadi ombak di samodra

di bawah matahari ini kita bertanya :
ada yang menangis, ada yang mendera
ada yang habis, ada yang mengikis
dan maksud baik kita
berdiri di pihak yang mana !

RENDRA
( jakarta, 1 desember 1977 )

































































AKU TULIS PAMPLET INI

aku tulis pamplet ini
karena lembaga pendapat umum
ditutupi jaring labah-labah
orang-orang bicara dalam kasak-kusuk,
dan ungkapan diri ditekan
menjadi peng-iya-an

apa yang terpegang hari ini
bisa luput besok pagi
ketidak pastian merajalela
di luar kekuasaan kehidupan menjadi teka-teki,
menjadi marabahaya,
menjadi isi kebon binatang

apabila kritik hanya boleh lewat saluran resmi
maka hidup akan menjadi sayur tanpa garam
lembaga pendapat umum tidak mengandung pertanyaan
tidak mengandung perdebatan
dan akhirnya menjadi monopoli kekuasaan

aku tulis pamplet ini
karena pamplet bukan tabu bagi penyair
aku inginkan merpati pos
aku ingin memainkan bendera-bendera semaphore di tanganku
aku ingin membuat isyarat asap kaum indian
aku tidak melihat alasan

kenapa harus diam tertekan dan termangu
aku ingin secara wajar kita bertukar kabar
duduk berdebat menyatakan setuju atau tidak setuju

kenapa ketakutan menjadi tabir pikiran ?
kekhawatiran telah mencemarkan kehidupan
ketegangan telah mengganti pergaulan pikiran yang merdeka

matahari menyinari airmata yang berderai menjadi api
rembulan memberi mimpi pada dendam
gelombang angin menyingkapkan keluh kesah
yang teronggok bagai sampah
kegamangan
kecurigaan
ketakutan
kelesuan

aku tulis pamplet ini
karena kawan dan lawan adalah saudara
di dalam alam masih ada cahaya
matahari yang tenggelam diganti rembulan
lalu besok pagi pasti terbit kembali
dan di dalam air lumpur kehidupan
aku melihat bagai terkaca :
ternyata kita, toh, manusia !

RENDRA
( pejambon - jakarta, 27 april 1978 )

SURAT KEPADA BUNDA
(Sajak Cinta W.S. Rendra)


8 Votes

Mama yang tercinta,
Akhirnya kutemukan juga jodohku
Seseorang yang bagai kau:
Sederhana dalam tingkah dan bicara
Serta sangat menyayangiku

Terpupus sudah masa-masa sepiku
Hendaknya berhenti gemetar rusuh
Hatimu yang baik itu
Yang selalu mencintaiku.
Kerna kapal yang berlayar
Telah berlabuh dan ditambatkan.
Dan sepatu yang berat serta nakal
Yang dulu biasa menempuh
Jalan-jalan yang mengkhawatirkan
Dalam hidup lelaki yang kasar dan sengsara
Kini telah aku lepaskan
Dan berganti dengan sandal rumah
Yang tentram, jinak dan sederhana.

Mamma
Burung dara jantan yang nakal
Yang sejak dulu kau pelihara
Kini terbang dan telah menemu jodohnya
Ia telah meninggalkan kandang yang kau buatkan
Dan tiada akan pulang
buat selama-lamanya

Ibuku,
Aku telah menemukan jodohku
Janganlah engkau cemburu
Hendaknya hatimu yang baik itu mengerti
Pada waktunya, aku meski kau lepaskan pergi.

Begitu kata alam, begitu kau mengerti:
Bagai dulu bundamu melepas kau
Kawin dengan ayahku melepaskannya
Untuk mengawinimu
Tentulah sangat berat.
Tetapi itu harus. Mamma!
Dan akhirnya tidak akan begitu berat
Apabila telah dimengerti
Apabila telah didasari

Hari Sabtu yang akan datang
Aku akan membawanya kepadamu
Ciumlah kedua pipinya
Berilah tanda salib di dahinya
Dan panggilah dia dengan kata: anakku

Bila malam telah datang
Kisahkan kepadanya
Riwayat para leluhur kita
Yang ternama dan perkasa
Dan biarkan ia nanti
Tidur di sampingmu

Ia pun anakmu
Sekali waktu nanti
Ia akan melahirkan cucu-cucumu
Mereka akan sehat-sehat dan lucu-lucu
Dan kepada mereka
Ibunya akan bercerita
Riwayat yang baik tentang nenek mereka:
Bunda bapak mereka

Ciuman abadi
Dari anakmu yang jauh,







































HAI MA !
Oleh: WS. Rendra

Ma !
Bukan maut yang menggetarkan hatiku
Tetapi hidup yang tidak hidup karena kehilangan daya dan kehilangan fitrahnya
Ada malam-malam panjang aku menyusuri lorong panjang tanpa tujuan kemana-mana
Hawa dingin masuk ke badanku yang hampa padahal angin tidak ada
Bintang-bintang menjadi kunang-kunang yang lebih menekankan hadirnya kegelapan
Tidak ada pikiran tidaka ada perasaan tidak ada suatu apa
Hidup memang fana Ma
Tetapi keadaan takberdaya membuat diriku tidak ada
Kadang-kadang aku merasa terbang ke belantara dijauhi ayah bunda
Dan ditolak para tetangga atau aku terlantar di pasar aku berbicara tetapi orang-orang tidak mendengar
Mereka merobek-robek buku dan mentertawakan cita-cita
Aku marah aku takut aku gemetar namun gagal menyusun bahasa
Hidup memang fana Ma
Itu gampang aku terima tetapi duduk menekuk lutut sendirian di sabana membuat hidupku tak ada harganya
Kadang-kadang aku merasa ditarik-tarik orang kesana kemari mulut berbusa sekedar karena tertawa hidup cemar karena basa-basi dan orang-orang mengisi waktu dengan pertengkaran edan yang tanpa persoalan atau percintaan tanpa asmara dan senggama yang tidak selesai
Hidup memang fana tentu saja Ma
Tetapi akrobat pemikiran dan kepalsuan yang dikelola mengacaukan isi perutku lalu mendorong aku menjerit-jerit sambil tertawa kenapa
Rasanya setelah mati berpulangkan takada lagi yang mengagetkan di dalan hidup ini
Tetapi Ma setiap kali menyadari adanya kamu di dalam hidupku ini aku merasa jalannya arus darah di sekujur tubuhku kelenjar-kelenjarku bekerja sukmaku menyanyi dunia hadir cicak di tembok berbunyi tukang kebun kedengaran berbicara kepada putranya hidup menjadi nyata fitrahku kembali
Mengingat kamu Ma adalah mengingat kuwajiban sehari-harikeserhanaan bahasa prosa keindahan puisi-puisi kita selalu asyik bertukar pikiran ya mak masing-masing pihak punya cita-cita masing-masing pihak punya kuwajiban yang nyata

Hai Ma apakah kamu ingat aku peluk kamu diatas perahu ketika kamu sakit dan aku tenangkan kamu dengan ciuman-ciuman di lehermu
Masya Allah aku selalu kesengsem pada bau kulitmu ingatkah waktu itu aku berkata kiamat boleh tiba hidupku penuh makna haahaawah aku memang tidak rugi ketemu kamu di hidup ini dan apabila aku menulis sajak aku juga merasa bahwa kemarin dan esok adalah hari ini bencana dan keberuntumgan sama saja langit di luar langit di badan bersatu dalam jiwasudah ya Ma!

jakarta, juli 92















SAJAK JOKI TOBING UNTUK WIDURI
Oleh: WS. Rendra

Dengan latar belakang gubug-gubug karton,aku terkenang akan wajahmu.
Di atas debu kemiskinan,aku berdiri menghadapmu.
Usaplah wajahku, Widuri.
Mimpi remajaku gugurdi atas padang pengangguran.
Ciliwung keruh,wajah-wajah nelayan keruh,lalu muncullah rambutmu yang berkibaran
Kemiskinan dan kelaparan, membangkitkan keangkuhanku.
Wajah indah dan rambutmumenjadi pelangi di cakrawalaku.

SAJAK WIDURI UNTUK JOKI TOBING

Debu mengepul mengolah wajah tukang-tukang parkir.
Kemarahan mengendon di dalam kalbu purba.
Orang-orang miskin menentang kemelaratan.
Wahai, Joki Tobing, kuseru kamu, kerna wajahmu muncul dalam mimpiku.
Wahai, Joki Tobing, kuseru kamukarena terlibat aku di dalam napasmu.
Dari bis kota ke bis kotakamu memburuku.
Kita duduk bersandingan,menyaksikan hidup yang kumal.
Dan perlahan tersirap darah kita, melihat sekuntum bunga telah mekar, dari puingan masa yang putus asa.

Nusantara Film, Jakarta, 9 Mei 1977

































HUTAN BOGOR

Badai turun di dalam hutan
badai turun di dalam sajak sajak
kuselalu, sayang, aku terkenang kepadamu
sudah jam empat sore hujan jatuh di hutan kenari
semula nampak manis kemudian mendasyatkan
di dalam hujan, mendung dan petirbumi pun nampak fana
Buruk dan basah jenggot pepohonan
lumut lumut didahan, benalu dan paku paku
aku berpikir betulkah aku tidak menipumu?
Didalam hujan bumi dan sajak terasa fana
berhadapan dengan maut
dengan malu
telanjanglah kita
menggapailah tangan tangan kita bagai dahan dahan pepohonan dan beriaklah suara suara dalam perkelahian yang fana
tapi dengan dasyat dahan dahan tetap menggapai
yang penting bukanlah kekalahan ataupun kemenangan tapi bahwa tangan tangan telah di kepalkan biarpun kecapaian
badai turun
di dalam hutan
badai turun
di dalam sajak sajakku.

(Hutan Bogor, WS Rendra)































KU PANGGILI NAMAMU

menyeberangi sepi
kupanggili namamu, wanitaku.
Apakah kau tak mendengarku?
Malam yang berkeluh kesah
memeluk jiwaku yang payah
yang resah
kerna memberontak terhadap rumah
memberontak terhadap adat yang latah
dan akhirnya tergoda cakrawala.
Sia-sia kucari pancaran sinar matamu.
Ingin kuingat lagi bau tubuhmuyang kini sudah kulupa.
Sia-sia.Tak ada yang bisa kujangkau.
Sempurnalah kesepianku.
Angin pemberontakan
menyerang langit dan bumi.
Dan dua belas ekor serigala
muncul dari masa silam
merobek-robek hatiku yang celaka.
Berulang kali kupanggil namamu
Di manakah engkau, wanitaku?
Apakah engkau juga menjadi masa silamku?
Kupanggili namamu.
Kupanggili namamu.
Kerna engkau rumah di lembah.
Dan Tuhan?
Tuhan adalah seniman tak terduga
yang selalu sebagai sediakala
hanya memperdulikan hal-hal yang besar saja.
Seribu jari masa silam
menuding kepadaku.
Tidak.
Aku tak bisa kembali.
Sambil terus memanggili namamu
amarah pemberontakanku yang suci
bangkit dengan perkasa malam ini
dan menghamburkan diri ke cakrawala
yang sebagai gadis telanjang
membukakan diri padaku
Penuh. Dan prawan.
Keheningan sesudah itu
sebagai telaga besar yang beku
dan aku pun beku di tepinya.
Wajahku. Lihatlah, wajahku.
Terkaca di keheningan.
Berdarah dan luka-luka
dicakar masa silamku.
dari Blues untuk Bonnie








WANITAKU WANITAKU


Wanitaku-wanitaku
gerimis menampar mukaku
dan aku berseru padamu dimanakah kamu wanitaku?
kamu menghilang di belakang hotel
di dalam kabut kuburu kamu
kamu lari ke dalam bis kota
dan lenyaplah kamu untuk selama-lamanya
Aku bernyanyi dikamar mandi
dan tiba-tiba tubuhmu yang telanjang terbayang lagi
apakah kamu mengerti kesepianku?
Sukmaku mengembara kedalam rumahdiantara buku buku gambar-gambar telanjang
meja makan yang berantakan
ranjang yang berbau mimipi
aku menagis
hubungan kita sia-sia
sukmaku menjelma menjadi seekor kucing tua
yang lalu mengembara luput ke dalam perkampungan
sudah sekian lama
sudah berbulan bulan
sudah bertahun tahun
sudah berabad abad
melewati kepulan debu
melewati angin panas
melewati serdadu dan algojo
melewati anjing anjing
aku memburu
memburu
memburu
berburu
berburu diatas harley davidson
mencari sukmaku sukmamu
yang telah lenyap bersama

jogjakarta, desember 71




















KELELAWAR
Oleh: WS. Rendra

Silau oleh sinar lampu lalulintas
Aku menunduk memandang sepatuku.
Aku gentayangan bagai kelelawar.
Tidak gembira, tidak sedih.
Terapung dalam waktu.
Ma, aku melihatmu di setiap ujung jalan.
Sungguh tidak menyangka
Begitu penuh kamu mengisi buku alamat batinku.
Sekarang aku kembali berjalan.
Apakah aku akan menelefon teman?
Apakah aku akan makan udang gapit di restoran?
Aku sebel terhadap cendikiawan yang menolak menjadi saksi.
Masalah sosial dipoles gincu menjadi metafisika.
Sikap jiwa dianggap maya dibanding mobil berlapis baja.
Hanya kamu yang enak diajak bicara.
Kakiku melangkah melewati sampah-sampah.
Aku akan menulis sajak-sajak lagi.
Rasa berdaya tidak bisa mati begitu saja.
Ke sini, Ma, masuklah ke dalam saku bajuku.
Daya hidup menjadi kamu, menjadi harapan.

tomang tinggi, 1981
































NYANYIAN SUTO UNTUK FATIMA
Oleh: WS. Rendra

Duapuluhtiga matahari bangkit dari pundakmu
tubuhmu menguapkan bau tanah
dan menyelalah sukmaku.
Langit bagai kain tetoron yang biru terpentang
berkilat dan berkilau
menantang jendela kalbu yang berduka cita
Rohku rohmu bagai proton dan elektron
Bergolak 3x
Dibawah duapuluhtiga matahari
dua puluh tiga matahari membakar dukacitaku
Kelambu ranjangku tersingkap
dibantal berenda tergolek nasibku.
Apabila firmanmu terucap
masuklah kalbuku ke dalam kalbumu
sedu sedan mengetuk tingkapku
dari bumi dibawah rumpun mawar
Waktu lahir kau telanjang dan tak tahu
tapi hidup bukanlah tawar menawar

(WS Rendra bersama Ken Zuraidah,
sajak-sajak cinta, Jogjakarta 1968)


































BAHWA KITA DITATANG SERATUS DEWA

Pengarang: W.S Rendra

Aku tulis sajak ini
untuk menghibur hatimu
Sementara engkau kenangkan encokmu
kenangkanlah pula masa remaja kita yang gemilang
Dan juga masa depan kita yang hampir rampung
dan dengan lega akan kita lunaskan.
Kita tidaklah sendiri
dan terasing dengan nasib kita
Kerna soalnya adalah hukum sejarah kehidupan.
Suka duka kita bukanlah istimewa
kerana setiap orang mengalaminya
Hidup tidaklah untuk mengeluh dan mengaduh
Hidup adalah untuk mengolah hidup
bekerja membalik tanah
memasuki rahsia langit dan samodra
serta mencipta dan mengukir dunia.
Kita menyandang tugas,
kerna tugas adalah tugas.
Bukannya demi sorga atau neraka.
tetapi demi kehormatan seorang manusia.
kerana sesungguhnya kita bukanlah debu
meski kita telah reyot,tua renta dan kelabu.
Kita adalah kepribadian
dan harga kita adalah kehormatan kita.
Tolehlah lagi ke belakang
ke masa silam yang tak seorang pun berkuasa menghapusnya.
Lihatlah betapa tahun-tahun kita penuh warna.
Sembilan puluh tahun yang dibelai napas kita.
sembilan puluh tahun yang selalu bangkit
melewatkan tahun-tahun lama yang porak peranda.
Dan kenangkanlah pula
bagaimana dahulu kita tersenyum senantiasa
menghadapi langit dan bumi,dan juga nasib kita.
Kita tersenyum bukanlah kerana bersandiwara.
Bukan kerna senyuman adalah suatu kedok.
Tetapi kerna senyuman adalah suatu sikap.
Sikap kita untuk Tuhan,manusia sesama,nasib dan kehidupan.
Lihatlah! sembilan puluh tahun penuh warna
Kenangkanlah bahawa kita telah selalu menolak menjadi koma.
Kita menjadi goyah dan bongkok
kerna usia nampaknya lebih kuat dr kita
tetapi bukan kerna kita telah terkalahkan.
Aku tulis sajak ini
untuk menghibur hatimu
Sementara kau kenangkan encokmu
kenangkanlah pula
bahwa hidup kita ditatang seratus dewa.

~ W.S Rendra ~
1972


DOA SEORANG SERDADU SEBELUM BERPERANG

Pengarang: W.S Rendra

Tuhanku,
WajahMu membayang di kota terbakar
dan firmanMu terguris di atas ribuan
kuburan yang dangkal

Anak menangis kehilangan bapa
Tanah sepi kehilangan lelakinya
Bukannya benih yang disebar di bumi subur ini
tapi bangkai dan wajah mati yang sia-sia

Apabila malam turun nanti
sempurnalah sudah warna dosa
dan mesiu kembali lagi bicara
Waktu itu, Tuhanku,
perkenankan aku membunuh
perkenankan aku menusukkan sangkurku

Malam dan wajahku
adalah satu warna
Dosa dan nafasku
adalah satu udara.
Tak ada lagi pilihan
kecuali menyadari
-biarpun bersama penyesalan-

Apa yang bisa diucapkan
oleh bibirku yang terjajah ?
Sementara kulihat kedua lengaMu yang capai
mendekap bumi yang mengkhianatiMu
Tuhanku
Erat-erat kugenggam senapanku
Perkenankan aku membunuh
Perkenankan aku menusukkan sangkurku

Mimbar Indonesia
Th. XIV, No. 25
18 Juni 1960
















GERILYA

Pengarang: W.S Rendra

Tubuh biru
tatapan mata biru
lelaki berguling di jalan

Angin tergantung
terkecap pahitnya tembakau
bendungan keluh dan bencana

Tubuh biru
tatapan mata biru
lelaki berguling dijalan

Dengan tujuh lubang pelor
diketuk gerbang langit
dan menyala mentari muda
melepas kesumatnya

Gadis berjalan di subuh merah
dengan sayur-mayur di punggung
melihatnya pertama

Ia beri jeritan manis
dan duka daun wortel

Tubuh biru
tatapan mata biru
lelaki berguling dijalan

Orang-orang kampung mengenalnya
anak janda berambut ombak
ditimba air bergantang-gantang
disiram atas tubuhnya

Tubuh biru
tatapan mata biru
lelaki berguling dijalan

Lewat gardu Belanda dengan berani
berlindung warna malam
sendiri masuk kota
ingin ikut ngubur ibunya

Siasat
Th IX, No. 42
1955








GUGUR

Pengarang: W.S Rendra

Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya
Tiada kuasa lagi menegak
Telah ia lepaskan dengan gemilang
pelor terakhir dari bedilnya
Ke dada musuh yang merebut kotanya

Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya
Ia sudah tua
luka-luka di badannya

Bagai harimau tua
susah payah maut menjeratnya
Matanya bagai saga
menatap musuh pergi dari kotanya

Sesudah pertempuran yang gemilang itu
lima pemuda mengangkatnya
di antaranya anaknya
Ia menolak
dan tetap merangkak
menuju kota kesayangannya

Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya
Belumlagi selusin tindak
mautpun menghadangnya.
Ketika anaknya memegang tangannya
ia berkata :
” Yang berasal dari tanah
kembali rebah pada tanah.
Dan aku pun berasal dari tanah
tanah Ambarawa yang kucinta
Kita bukanlah anak jadah
Kerna kita punya bumi kecintaan.
Bumi yang menyusui kita
dengan mata airnya.
Bumi kita adalah tempat pautan yang sah.
Bumi kita adalah kehormatan.
Bumi kita adalah juwa dari jiwa.
Ia adalah bumi nenek moyang.
Ia adalah bumi waris yang sekarang.
Ia adalah bumi waris yang akan datang.”
Hari pun berangkat malam
Bumi berpeluh dan terbakar
Kerna api menyala di kota Ambarawa

Orang tua itu kembali berkata :
“Lihatlah, hari telah fajar !
Wahai bumi yang indah,
kita akan berpelukan buat selama-lamanya !
Nanti sekali waktu
seorang cucuku
akan menacapkan bajak
di bumi tempatku berkubur
kemudian akan ditanamnya benih
dan tumbuh dengan subur
Maka ia pun berkata :
-Alangkah gemburnya tanah di sini!”

Hari pun lengkap malam
ketika menutup matanya

W.S Rendra













































HAI, KAMU !

Pengarang: W.S Rendra

luka-luka di dalam lembaga,
intaian keangkuhan kekerdilan jiwa,
noda di dalam pergaulan antar manusia,
duduk di dalam kemacetan angan-angan.
aku berontak dengan memandang cakrawala.

jari-jari waktu menggamitku.
aku menyimak kepada arus kali.
lagu margasatwa agak mereda.
indahnya ketenangan turun ke hatiku.
lepas sudah himpitan-himpitan yang mengekangku.

jakarta, 29 pebruari 1978
potret pembangunan dalam puisi







































LAGU SEORANG GERILYA

Pengarang: W.S Rendra

(Untuk puteraku Isaias Sadewa)

Engkau melayang jauh, kekasihku.
Engkau mandi cahaya matahari.
Aku di sini memandangmu,
menyandang senapan, berbendera pusaka.

Di antara pohon-pohon pisang di kampung kita yang berdebu,
engkau berkudung selendang katun di kepalamu.
Engkau menjadi suatu keindahan,
sementara dari jauh
resimen tank penindas terdengar menderu.

Malam bermandi cahaya matahari,
kehijauan menyelimuti medan perang yang membara.
Di dalam hujan tembakan mortir, kekasihku,
engkau menjadi pelangi yang agung dan syahdu

Peluruku habis
dan darah muncrat dari dadaku.
Maka di saat seperti itu
kamu menyanyikan lagu-lagu perjuangan
bersama kakek-kakekku yang telah gugur
di dalam berjuang membela rakyat jelata

Jakarta, 2 september 1977
Potret Pembangunan dalam Puisi


























LAGU SERDADU

Pengarang: W.S Rendra

Kami masuk serdadu dan dapat senapang
ibu kami nangis tapi elang toh harus terbang
Yoho, darah kami campur arak!
Yoho, mimpi kami patung-patung dari perak

Nenek cerita pulau-pulau kita indah sekali
Wahai, tanah yang baik untuk mati
Dan kalau ku telentang dengan pelor timah
cukilah ia bagi puteraku di rumah

Siasat
No. 630, th. 13
Nopember 1959








































NINA BOBOK BAGI PENGANTIN

Pengarang: W.S Rendra

Awan bergoyang, pohonan bergoyang
antara pohonan bergoyang malaikat membayang
dari jauh bunyi merdu loceng loyang

Sepi, syahdu, rindu
candu rindu, ghairah kelabu
rebahlah, sayang, rebahlah wajahmu ke dadaku

Langit lembayung, pucuk-pucuk daun lembayung
antara daunan lembayung bergantung hati yang ruyung
dalam hawa bergulung mantera dan tenung

Mimpi remaja, bulan kenangan
duka cinta, duka berkilauan
rebahlah sayang, rebahkan mimpimu ke dadaku

Bumi berangkat tidur
duka berangkat hancur
aku tampung kau dalam pelukan tangan rindu

Sepi dan tidur, tidur dan sepi
sepi tanpa mati, tidur tanpa mati
rebahlah sayang, rebahkan dukamu ke dadaku.

~ W.S Rendra ~




























Dipetik dari 4 Kumpulan Sajak
Nota Bele : AKU KANGEN

Pengarang: W.S Rendra

Lunglai – ganas karena bahagia dan sedih,
indah dan gigih cinta kita di dunia yang fana.
Nyawamu dan nyawaku dijodohkan langit,
dan anak kita akan lahir di cakrawala.
Ada pun mata kita akan terus bertatapan hingga berabad-abad lamanya.

Juwitaku yang cakap meskipun tanpa dandanan
untukmu hidupku terbuka.
Warna-warna kehidupan berpendar-pendar menakjubkan
Isyarat-isyarat getaran ajaib menggerakkan penaku.
Tanpa sekejap pun luput dari kenangan padamu
aku bergerak menulis pamplet, mempertahankan kehidupan.

Jakarta, Kotabumi, 24 Maret 1978
Potret Pembangunan dalam Puisi





































ORANG-ORANG MISKIN

Pengarang: W.S Rendra

Orang-orang miskin di jalan,
yang tinggal di dalam selokan,
yang kalah di dalam pergulatan,
yang diledek oleh impian,
janganlah mereka ditinggalkan.

Angin membawa bau baju mereka.
Rambut mereka melekat di bulan purnama.
Wanita-wanita bunting berbaris di cakrawala,
mengandung buah jalan raya.

Orang-orang miskin. Orang-orang berdosa.
Bayi gelap dalam batin. Rumput dan lumut jalan raya.
Tak bisa kamu abaikan.

Bila kamu remehkan mereka,
di jalan kamu akan diburu bayangan.
Tidurmu akan penuh igauan,
dan bahasa anak-anakmu sukar kamu terka.

Jangan kamu bilang negara ini kaya
karena orang-orang berkembang di kota dan di desa.
Jangan kamu bilang dirimu kaya
bila tetanggamu memakan bangkai kucingnya.
Lambang negara ini mestinya trompah dan blacu.
Dan perlu diusulkan
agar ketemu presiden tak perlu berdasi seperti Belanda.
Dan tentara di jalan jangan bebas memukul mahasiswa.

Orang-orang miskin di jalan
masuk ke dalam tidur malammu.
Perempuan-perempuan bunga raya
menyuapi putra-putramu.
Tangan-tangan kotor dari jalanan
meraba-raba kaca jendelamu.
Mereka tak bisa kamu biarkan.

Jumlah mereka tak bisa kamu mistik menjadi nol.
Mereka akan menjadi pertanyaan
yang mencegat ideologimu.
Gigi mereka yang kuning
akan meringis di muka agamamu.
Kuman-kuman sipilis dan tbc dari gang-gang gelap
akan hinggap di gorden presidenan
dan buku programma gedung kesenian.

Orang-orang miskin berbaris sepanjang sejarah,
bagai udara panas yang selalu ada,
bagai gerimis yang selalu membayang.
Orang-orang miskin mengangkat pisau-pisau
tertuju ke dada kita,
atau ke dada mereka sendiri.
O, kenangkanlah :
orang-orang miskin
juga berasal dari kemah Ibrahim

Yogya, 4 Pebruari 1978
Potret Pembangunan dalam Puisi




















































PAMFLET CINTA

Pengarang: W.S Rendra

Ma, nyamperin matahari dari satu sisi.
Memandang wajahmu dari segenap jurusan.

Aku menyaksikan zaman berjalan kalang-kabutan.
Aku melihat waktu melaju melanda masyarakatku.
Aku merindui wajahmu.
Dan aku melihat wajah-wajah berdarah para mahasiswa.
Kampus telah diserbu mobil berlapis baja.
Kata-kata telah dilawan dengan senjata.
Aku muak dengan gaya keamanan semacam ini.
Kenapa keamanan justeru menciptakan ketakutan dan ketegangan.
Sumber keamanan seharusnya hukum dan akal sihat.
Keamanan yang berdasarkan senjata dan kekuasaan adalah penindasan.

Suatu malam aku mandi di lautan.
Sepi menjadi kaca.
Bunga-bungaan yang ajaib bertebaran di langit.
Aku inginkan kamu, tetapi kamu tidak ada.
Sepi menjadi kaca.

Apa yang bisa dilakukan oleh penyair
Bila setiap kata telah dilawan dengan kekuasaan?
Udara penuh rasa curiga.
Tegur sapa tanpa jaminan.

Air lautan berkilat-kilat.
Suara lautan adalah suara kesepian
Dan lalu muncul wajahmu.

Kamu menjadi makna.
Makna menjadi harapan.
… Sebenarnya apakah harapan?

Harapan adalah karena aku akan membelai rambutmu.
Harapan adalah karena aku akan tetap menulis sajak.
Harapan adalah karena aku akan melakukan sesuatu.
Aku tertawa, Ma!
Angin menyapu rambutku.
Aku terkenang kepada apa yang telah terjadi.

Sepuluh tahun aku berjalan tanpa tidur.
*Punggungku karatan aku seret dari warung ke warung.
Perutku sobek di jalan raya yang lenggang…
Tidak. Aku tidak sedih dan kesepian.
Aku menulis sajak di bordes kereta api.
Aku bertualang di dalam udara yang berdebu.

Dengan berteman anjing-anjing geladak dan kucing-kucing liar,
Aku bernyanyi menikmati hidup yang kelabu.

Lalu muncullah kamu,
Nongol dari perut matahari bunting,
Jam dua belas seperempat siang.
Aku terkesima.
Aku disergap kejadian tak terduga.
Rahmatku turun bagai hujan
Membuatku segar,
Tapi juga menggigil bertanya-tanya.
Aku jadi bego, Ma!

Yaaahhhh, Ma, mencintai kamu adalah bahagia dan sedih.
Bahagia karena mempunyai kamu di dalam kalbuku,
Dan sedih karena kita sering terpisah.
Ketegangan menjadi pupuk cinta kita.

Tetapi bukankah kehidupan sendiri adalah bahagia dan sedih?
Bahagia karena nafas mengalir dan jantung berdetak.
Sedih karena fikiran diliputi bayang-bayang.
Adapun harapan adalah penghayatan akan ketegangan.

Ma, nyamperin matahari dari satu sisi,
Memandang wajahmu dari segenap jurusan.

~ W.S. Rendra ~
( Koleksi Puisi² Willibordus Surendra)



































DOA SEORANG PEMUDA RANGKASBITUNG di ROTTERDAM

Bismillahir-rohmanir-rohiim

Allah! Allah! Napasmu menyentuh ujung jari-jari kakiku yang menyembul dari selimut. Aku membuka mata dan aku tidak bangkit dari tidurku. Aku masih mengembara di dalam jiwa.

Burung-burung terbakar di langit dan menggelepar di atas bumi. Bunga-bunga apyun diterbangkan angin jatuh di atas air hanyut di kali, dibawa ke samodra, disantap oleh kawanan hiu yang lalu menggelepar jumpalitan bersama gelombang.

Aku merindukan desaku lima belas kilo dari Rangkasbitung. Aku merindukan nasi merah, ikan pepes, desir air menerpa batu, bau khusus dari leher wanita desa, suara doa di dalam kabut.

Musna. Musna. Musna. Para turis, motel dan perkebunan masuk desa. Gadis-gadis desa lari ke kota bekerja di panti pijat, para lelaki lari ke kota menjadi gelandangan. Dan akhirnya digusur atau ditangkapi disingkirkan dari kehidupan. Rakyat kecil bagaikan tikus. Dan para cukong selalu siap membekali para penguasa dengan semprotan antihama. Musna. Musna. Musna.

Kini aku di sini. Di Rotterdam. Menjelang subuh. Angin santer. Jendela tidak terbuka, tapi tirainya aku singkapkan. Kaca basah. Musim gugur. Aku mencium bau muntah. Orang Negro histeri ketakutan dikejar teror orang kulit putih di tanah leluhurnya sendiri di Afrika Selatan. Kekerasan. Kekuasaan. Kekerasan. Dan lantaran ada tambang intan di sana, kekuatan adikuasa orang-orang kulit putih juga termasuk yang demokrat, memalingkan muka, bergumam seperti orang bego, dan mengulurkan tangan di bawah meja, melakukan kerja sama dagang dengan para penindas itu. Dusta. Dusta. Dusta. Ya, Allah Yang Maharahman! Tanganku mengambang di atas air bersama sampah peradaban.

Apakah aku akan berenang melawan arus? Langit nampak dari jendela, Ada hujan bulu-bulu angsa. Aku hilang di dalam kegagapan. Ada trem lewat. Trem? Buldoser? Panser? Apakah aku akan menelpon Linde? Atau Adrian? Berapa lama akan sampai kalau sekarang aku menulis surat kepada Makoto Oda di Jepang? Sia-sia. Musna. Dusta.

Rotterdam! Rotterdam! Hiruk-pikuk suara pasar di Jakarta. Bau daging yang terbakar. Biksu di Vietnam protes membakar diri. Perang saudara di India yang abadi. Aku termangu. Apakah aku akan menyalakan lampu? Terdengar lonceng berdentang. Berapa kali tadi? Jam berapa sekarang? Ayahku di Rangkasbitung selalu bertanya: Kapan kamu akan menikah? Apakah kamu akan menikah dengan perempuan Indonesia atau Belanda? Kapan kamu akan memberiku seorang cucu? Apakah lampu akan kunyalakan? Di Rangkasbitung pasti musim hujan sudah datang. Kenapa aku harus punya anak? Kalau perang dunia ketiga meletus nuklir digunakan, angin bertiup, hujan turun, setiap mega menjadi ancaman. Jadi anakku nanti harus mengalami semua ini? Rambut rontok. Kulit terkelupas. Ampas bencana tidak berdaya. Ah, anakku, sekali kamu dilahirkan tak mungkin kamu kembali mengungsi ke dalam rahim ibumu!

Suara apakah itu? Electronic music? Jam berapa sekarang? Apakah sudah terlambat untuk salat subuh? Buku-buku kuliah di atas meja. Tanganku menjamah kaca jendela. Dan dari jauh datang mendekat: wajahku. Apakah yang sedang aku lakukan? Ya Allah Yang Maharahman! Tanganku mengambang di atas air bersama sampah peradaban. Apakah aku harus berenang melawan arus? Astaga! Pertanyaan apa ini!

Apakah aku takut? Ataukah aku menghiba? Apakah aku takut lalu menghiba? Pertanyaan apa ini!

Ya, Allah Yang Maharahman. Aku akan menelpon Linde dan juga Adrian. Aku akan menulis surat kepada Makoto Oda. Tanganku mengepal di dalam air tercemar sampah peradaban. Tidak perlu aku merasa malu untuk bicara dengan imanku.

Allah Yang Maharahman, imanku adalah pengalamanku.

Bojong Gede 6 Nopember 1990
9.30 - 22 July 2009
Sebelum berpulang ke Rahmatullah, di RS Mitra Keluarga Kelapa Gading
kika: Theodorus Setya Nugraha ~ Rendra ~ Clara Shinta




1 komentar:

  1. Sands Casino | San Diego | Temecula, CA | Temecula
    › indiansa › sands-casino › indiansa › 샌즈카지노 sands-casino Located on the Temecula Indian Reservation, this casino is a perfect place for you to 1xbet korean discover the 메리트카지노 wonders of nature and nature. The Sands Casino has over 800

    BalasHapus